Geografi di Era Baru: Dari Konsep Fundamental hingga Integrasi Kecerdasan Buatan

Geografi, sebagai ilmu yang mempelajari bumi dan segala isinya, kini berada di persimpangan jalan antara prinsip-prinsip fundamental dan revolusi teknologi. Memahami interaksi keruangan telah lama menjadi inti dari disiplin ini, namun cara para ahli geografi menganalisis interaksi tersebut sedang mengalami transformasi besar-besaran berkat kecerdasan buatan (AI).

Fondasi: 10 Konsep Esensial Geografi

Untuk memahami geografi secara utuh, penting untuk melihat 10 konsep esensial yang menjadi dasarnya. Seperti yang dijabarkan oleh Suharyono dan Moch. Amien dalam “Pengantar Filsafat Geografi” (1994), konsep-konsep ini adalah kerangka kerja untuk menganalisis fenomena di permukaan bumi.

Kesepuluh konsep tersebut meliputi lokasi, jarak, keterjangkauan, pola, morfologi, aglomerasi, diferensiasi area, interaksi, nilai kegunaan, dan keterkaitan keruangan.

Konsep lokasi (baik absolut berdasarkan garis lintang/bujur maupun relatif berdasarkan letak geografis) dan jarak (absolut dalam satuan panjang, relatif dalam satuan waktu) adalah pilar utama. Sementara itu, morfologi menjelaskan bentuk permukaan bumi seperti dataran tinggi atau pegunungan. Konsep lain seperti aglomerasi (kecenderungan pengelompokan aktivitas manusia), diferensiasi area (perbedaan antar wilayah), dan interaksi (hubungan timbal balik) menjelaskan dinamika kompleks antara manusia dan lingkungannya.

Evolusi Teknologi: Sistem Informasi Geografis (GIS)

Selama 50 tahun terakhir, penerapan konsep-konsep geografi ini telah berevolusi seiring dengan kemajuan teknologi. Para ahli geografi telah merangkul setiap pergeseran teknologi baru dalam Sistem Informasi Geografis (GIS)—sebuah teknologi yang mengubah data lokasi mentah menjadi peta dan wawasan mendalam tentang interaksi antara tempat dan manusia.

Evolusi ini dimulai dari ledakan komputer, berlanjut ke kebangkitan internet yang memfasilitasi GIS berbasis web, dan kemudian munculnya data ponsel pintar serta sistem GIS berbasis cloud. Teknologi GIS inilah yang memvisualisasikan konsep jarak, pola, dan keterjangkauan dalam analisis dunia nyata.

Pergeseran Paradigma Baru: GIS Otonom Berbasis AI

Saat ini, sebuah pergeseran paradigma baru sedang mentransformasi bidang geografi: kehadiran kecerdasan buatan (AI) sebagai “agen” independen. Agen AI ini mampu menjalankan fungsi GIS yang kompleks dengan pengawasan manusia yang minimal.

Sebuah studi multi-institusi yang dipimpin oleh peneliti geografi di Penn State, yang diterbitkan dalam Annals of GIS, telah membangun dan menguji empat agen AI. Studi ini bertujuan memperkenalkan kerangka kerja konseptual untuk GIS otonom dan mengkaji bagaimana pergeseran ini mendefinisikan ulang praktik GIS.

“Sama seperti pergeseran paradigma di masa lalu, GIS otonom mewakili paradigma baru yang mengintegrasikan AI dengan GIS, di mana AI bukan lagi sekadar alat, melainkan menjadi analis geospasial buatan yang mampu menggunakan alat GIS untuk memecahkan masalah geospasial,” kata penulis utama Zhenlong Li, associate professor geografi.

Pembuktian Konsep: Agen AI dalam Analisis Geospasial

Tim peneliti Penn State mendemonstrasikan bahwa agen AI baru ini dapat mengambil data geospasial, melakukan analisis spasial, dan menghasilkan peta secara mandiri.

Salah satu studi kasus, agen pencari data bernama LLM-Find, secara otomatis mengambil kumpulan data geospasial berdasarkan permintaan bahasa alami pengguna. Misalnya, permintaan seperti “unduh jaringan jalan tidak termasuk jalan setapak… untuk penilaian kelayakan berjalan kaki sekolah di Columbia, Carolina Selatan.” Dalam beberapa menit, LLM-Find berhasil memperoleh data trotoar, jaringan jalan, dan citra penginderaan jauh yang diperlukan.

“LLM-Find menunjukkan agen GIS otonom dapat menangani akuisisi data… membantu mengurangi kerja keras dalam persiapan data,” jelas Li.

Studi Kasus: Dari Analisis hingga Kartografi

Penelitian ini tidak berhenti pada pengambilan data. Agen berikutnya, LLM-Geo, mampu menilai kelayakan berjalan kaki sekolah menggunakan data yang diambil oleh LLM-Find. Agen ini secara otonom menghasilkan alur kerja spasial yang memproduksi skor dan peta kelayakan berjalan kaki—tugas yang biasanya dilakukan oleh ahli geografi tingkat awal.

Lebih lanjut, agen LLM-Cat, menyelesaikan tugas kartografi yang lebih ketat. Agen ini mampu membuat keputusan desain visual seperti simbol, skala warna, dan elemen peta lainnya, membawa sistem lebih dekat ke otomatisasi penuh.

Ketiga agen ini kemudian digabungkan menjadi asisten desktop kolaboratif bernama GIS Copilot, yang berfungsi mirip dengan ChatGPT atau Google Gemini. “Kami menguji GIS Copilot di lebih dari 100 tugas spasial… dengan tingkat keberhasilan keseluruhan sekitar 86%,” kata Li.

Membuka Cakrawala Baru bagi Ahli Geografi

Integrasi AI dalam GIS dinilai membuka cakrawala baru bagi para ilmuwan. Menurut rekan penulis Guido Cervone, direktur Penn State Institute for Computational and Data Sciences, ini bukanlah ancaman, melainkan peluang besar untuk menumbuhkan GIS dan menerapkannya dengan cara-cara inovatif.

“Dalam lima tahun terakhir, kami telah melihat lebih banyak kemajuan di GIS daripada yang saya kira akan saya lihat seumur hidup saya,” kata Cervone. “Dari perspektif penelitian, AI mempercepat dampak riset kami ke level baru, karena kami sekarang dapat dengan cepat mengakses dan menganalisis data untuk mempelajari planet kita dengan lebih baik.”